Bagi si
penelurus cerita rakyat, cerita kuno Kebokicak yang telah berkembang menjadi
cerita tutur di wilayah Jombang bukanlah perkara gampang untuk
dibabar-tuliskan. Satu sisi “sang cerita” telah menempat terutama pada ingatan
orang-orang sepuh, dan hal itu sangat memungkinkan untuk terceritakan kembali
pada orang lain, pada generasi selanjutnya. Satu kesulitan lain adalah cerita
tersebut hingga saat ini tak tertuliskan, atau seandainya sudah ada yang
menuliskannya, kita belum mengetahuinya. Artinya dalam konteks filologis adakah
manuskrip ihwal cerita Kebokicak nyata-nyata tertemukan dan memiliki jarak masa
tertentu sebagaimana yang secara akademis memenuhi persyaratan sebagai sumber
keilmuan yang otentik dan akurat, misalnya naskah tersebut telah diserat oleh
seorang pujangga di masa lampau, mungkin masanya bisa seratusan tahun silam,
dan karenanya jika memang itu ada dapatlah dijadikan rujukan.
Maka yang
fiksi dan yang fakta atas nama sebuah cerita, untuk sementara, kita posisikan
dulu cerita Kebokicak itu di tengah-tengahnya. Boleh jadi cerita ini adalah
dongeng, dan dongeng merupakan jalinan pengisahan dari masa ke masa yang
berfungsi sebagai klangenan atau penandaan dari ritus sosial dan muasal lokus
yang melatarinya.
Terkait itu,
satu gerakan literasi dalam bentuk pelacakan cerita Kebokicak yang dilakukan
mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2007, jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia, patut diapresiasi. Mereka melakukan penelusuran ke berbagai
narasumber di Jombang, untuk selanjutnya dibukukan dengan judul Kebokicak
Karang Kejambon (Saduran Cerita Rakyat Jombang).
Ada 13 versi
cerita Kebokicak di sini yang tidak mengisahkan secara keseluruhan, namun dalam
bentuk fragmen atau petilan: 1. Kebokicak Karang Kejambon (Versi
Ketoprak). Narasumber: Ki Waras, usia 56 tahun, pimpinan ketoprak dan
campursari dari Kedung Doro, Kecamatan Tembelang. 2. Hitam Tidak
Menutup Putih(Kemenangan Surontanu), narasumber: Mohammad Kosim, 80 tahun,
pemain ketoprak dari Dusun Tengaran RT 1/RW 1, Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan.
3. Desa Randu Watang. Narasumber: Ponari, 58 tahun, tokoh
masyarakat dari Dusun Dero, Desa Kedung Betik, Kecamatan Kesamben. 4. Mati
Satu, Harus Mati Semua (Mukti Siji Mukti Kabeh). Narasumber: Ki Harya
Yahmad Hadi Pranoto, 58 tahun, seorang dukun dari Desa Brangkal, Kecamatan
Bandar Kedung Mulyo. 5. Relikui Kebokicak Mosaik Jombang.
Narasumber: Pariyadi, 64 tahun, seniman ludruk dari Gudo, dan Mbah Nur, 66
tahun, seorang guru spiritual dan pemuka agama Hindu dari Jl. Kandangan 24,
Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro. 6. Telatah Surontanu.
Narasumber: Purwito, 57 tahun, ia mengaku sebagai keturunan ke-4 Surontanu yang
tinggal di Dusun Sumonyono, Desa Cukir. 7. Joko Tulus (Kebokicak Karang
Kejambon). Narasumber: Sukono, 58 tahun, Jl. Mojoanyar Gang 7, Bareng. 8.Banteng
Tracak Kencana. Narasumber: Jamadi, 80 tahun, Desa Sumber Nangka, Kecamatan
Tunggorono. 9. Legenda Jombang (Pertarungan Kebokicak
Surontanu). Narasumber: Ngaidi Wibowo, 63 tahun, lahir 10 Oktober 1947, Desa
Dukuh Klopo, Kecamatan Peterongan. 10. Kebokicak Karang Kejambon.
11. Napak Tilas Joko Tulus. Narasumber: Abdul Hafidz, 80 tahun,
tokoh masyarakat Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang. 12. Perebutan
Kidang Tracak Kencana. Narasumber: Katijan, 70 tahun, ia adalah seorang
dalang, guru karawitan dan guru sinden, tinggal di Jombatan Blok O No. 19,
Kecamatan Jombang. 13. Dewi Mangurin dan Joko Tulus. Narasumber:
Saleh, 81 tahun, di Desa Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang.
Dari semua
petilan cerita Kebokicak di dalam buku tersebut menghadirkan corak yang
berbeda-beda. Ada beberapa yang singkron. Ada juga yang untuk sementara perlu
diperjelas manakah pakem atau cerita baku dari keseluruhan cerita Kebokicak.
Sebab tak ada otoritas yang bisa dikatakan ini yang sah atau pun itu yang pakem
dari kisah Kebokicak ini. Kiranya perlu pula upaya penulisan cerita ini terus
dieksplorasi lebih dalam, konprehensif, dan bagaimana memilih informan yang
benar-benar tepat yang selanjutnya data-data wawancara tersebut paling tidak
mendekati pada semacam keselarasan dan “satu arus” yang merujuk pada kisahan
Kebokicak yang akurat dan yang sebenarnya. Ini menjadi penting untuk
pengembangan penelitian ke depan.
Jika merujuk
pada penelitian skripsi yang dilakukan oleh Puspita Indriani, mahasiwa Unesa,
dengan judul Pengaruh Cerita Rakyat Kebokicak Karang Kejambon Terhadap
Masyarakat Pendukungnya (2003), menyebutkan bahwa versi cerita
Kebokicak dibagi menjadi dua. Pertama versi abangan, dan yang kedua versi
santri. Versi pertama menitik-beratkan pada masa kerajaan Majapahit saat
rajanya adalah Brawijaya V. Yang kedua, versi santri yang menyiratkan masa
Brawijaya V juga, namun anasir pesantren di daerah yang kini disebut Tebuireng
itu dimunculkan dan menjadi lokus sentral.
Selain kita
bisa membaca dan menilai dari 13 cerita tersebut, saya ingin melongok sisi lain
dalam versi santri serta selubung silsilahnya dan cerita Kebokicak yang sudah
pernah ditulis dalam bahasa Jombangan (ludrukan) oleh tokoh ludruk Jombang,
Ngaidi Wibowo.
Pada kisaran akhir 2008, saya melakukan wawancara perihal cerita Kebokicak
dengan Kiai Hafidz dari Dapur Kejambon. Tuturan kiai ini saya susun demikian:
Tersebutlah
sosok yang bernama Ki Nur Khotib, ia adalah menantu Kebokicak yang kala itu
menjadi demang Karang Kejambon, yang ditunjuk oleh kerajaan Majapahit. Istri Ki
Nur Khotib adalah putri Kebokicak, namanya Wandan Manguri. Wandan Manguri ini
merupakan cucu dari Brawijaya V dari istri Wandan Kuning. Wandan Kuning
memiliki 2 anak. Yang pertama yakni Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng.
Yang kedua adalah Wandan Wangi. Semenjak Wandan Kuning mengandung jabang bayi
berupa Wandan Wangi, Brawijaya V sebagai suaminya menyerahkan istrinya tersebut
kepada Mbah Pranggan di daerah Karang Kejambon. Ketika Wandan Wangi dewasa
dikawinkanlah ia dengan Demang Kebokicak. Maka, Kebokicak merupakan menantu
dari Brawijaya V. Mbah Pranggan adalah bapak tiri Wandan Wangi, dan Kebokicak
adalah mantu tirinya (silsilah ini atas anjuran Kiai Hafidz perlu ditaskhihkan
kepada Kiai Jamal di Ponpes Al-Mihibbin Tambak Beras Jombang, di mana beliau
dianggap memiliki rekam-jejak yang baik terkait itu).
Kiai Muchtar
konon berasal dari Banyuarang, Ngoro. Ia memiliki putra bernama Kiai Nur
Khotib. Kiai Nur Khotib kemudian berhijrah ke Gembong Lekok, Pasuruan, dan
dimakamkan di sana. Ia memiliki 2 putra: pertama Mbah Suropati atau Mbah
Angklung. Yang kedua adalah Mbah Ali. Mbah Ali memiliki putri bernama Rubaniyah
yang diperistri oleh santri pondok pesantren Mimbar dari Sambong yang bernama
Nuruddin asal Sendang Duwur, Lamongan. Nuruddin dimakamkan di Desa Banggle, dan
nama makamnya dikenal dengan sebutan Makam Mbah Surgi. Putra kedua Mbah Ali
adalah Kiai Umar di Kapos. Mbah Ali wafat di Mekah sewaktu menjalankan ibadah
haji bersama 4 putranya. Pulang dari Mekah tinggal 3 orang anak: Mbah Kiai Zen,
Mbah Kiai Idris, dan Mbah Kiai Abdullah. Kiai Ali konon merupakan syekh pertama
dari Jawa Timur. Menurut cerita tersebar, putra Kiai Umar adalah Kiai Farhan,
dan Kiai Farhan adalah kakek Kiai Hafidz.
Baiklah, sekarang, saya coba memasuki cerita Kebokicak dari versi ludruk yang
pernah dipentaskan dan disutradarai oleh Kiai Farhan, Pak Ngaidi Wibowo, dan
beberapa sutradara ludruk lainnya pada tahun 1970-an. Pada pengujung 2008, saya
melakukan wawancara untuk penulisan Sejarah Ludruk Jombang, saya menyambangi
Carik Karsono di Dusun Jalinan. Ia adalah tokoh gaek Ludruk Kopasgat yang
pernah jaya di tahun 1980-an. Sudah lama ia meludruk bahkan sebelum Gestok
1965. Ketika itu ia sempat bercerita sekelumit tentang lakon Kebokicak yang
pernah diludrukkan. Pada dan dari orang lain, adalah Agus Gundul, ia tak lain
adalah putra Carik Karsono. Pada malam yang sama, setelah saya tak bisa secara
lengkap mewawancarai Carik Karsono karena sesuatu hal, maka saya teruskan ngobrol
“saut manuk” (tentang apa saja) dengan Agus Gundul. Ia menceritakan bahwa
bapaknya memiliki manuskrip Kebokicak atau sebut saja serat Kebokicak. Nama
penyeratnya tidak diketahui. Carik Karsono tidak pernah menunjukkan padanya,
hanya menceritakannya. “Serat” itu dianggapnya gaib, karena kadang muncul,
kadang menghilang sendiri. Jadi, ada kesan klenik dari potongan cerita ini.
Tapi abaikan saja untuk sementara.
Mari kita
tengok apa yang ditulis Ngaidi Wibowo sebagai sutradara ludruk yang menurutnya
pernah sampai 2 atau 3 kali mementaskan lakon Kebokicak dan ternyata berhasil.
Mitos membuktikan, bahwa ada beberapa grup ludruk yang tidak mencukupi
syarat-syarat sesajen saat memanggungkan lakon Kebokicak, maka terkenalah
mereka bala atau bencana. Jelas tanggapan ludrukannya bubrah, karena ada 1 atau
2 penonton atau pemainnya yang kerasukan entah oleh dedemit atau arwah
Kebokicak.
Nah, Pak
Ngaidi ini kira-kira mulai menulis sekitar tahun 2000-an. Terbilang sangat
jarang orang ludruk mampu meluangkan waktu untuk menulis, selain rendahnya
tingkat pendidikan mereka. Cerita Kebokicak yang ditulisnya tersebut terdiri
dari 31 adegan. Adegan di sini dimaksudkan sebagai tulisan lakon ludruk yang
dinarasikan, bukan yang telah dihafal terutama maupun oleh para pemainnya, yang
kemudian antar pemain ini sudah tahu spelan (urutan dialog apa
dan dengan siapa)-nya. Saya cuplikkan 2 adegan dari naskah Pak Ngaidi:
Adegan I
Amiluhur
Lembu Peteng nrimo wisik soko Hang Murbeng Dumadi. Sak gugure Tumenggung Surono
ilang ono Brantas Mojopait perbatasan Kediri. Koyo-koyo Mojopait sisih kulon
kocak lan goncang. Akeh poro penduduk sing podo wedi lan ngungsi. Lan wisik
sing ditrimo Lembu Peteng iku nyoto tur bener, ning nyatane sak wetane Brantas
Mojopait ono sorot utowo ndaru rutuh kang warnane ijo lan abang tumibo ono alas
Mojopait kang sisih kulon. Mulo Gusti Lembu Peteng nugasno lan mertopo ono
nggone ndaru kang tumibo ono ing kunu.
Adegan 19
Ladang. Surontanu bebedak bawa Banteng
Tracak Kencono ono alas kidul wilayah Mojopait ing kunu ketemu Kebokicak sing
dikawal poro prajurit Mojopait. Terus Kebokicak ndangu adine Surontanu Adiku Di
Surontanu suweh anggonku ngupadi marang kuwe Di sak metune soko dempokan aku
kaprentah Bopo Guru Sopoyono toleki kuwe Di mung butue aku diutus nyuwun utowo
njaluk ameng-amengmu yo Banteng Tracak Kencono minongko kanggo kekah lan digawe
tumbal ono Dempok Cukir yo Tebuireng.
Critane
ganti. Surontanu nyambung. Kakangmas Kebokicak kulo mboten bakal mulungaken Banteng Tracak Kencono
ten sinten kemawon senajan toh Bopo Guru piambak engkang nyuwun. Sebab kulo
sampun sumpah kaliyan Banteng Tracak Kencono mati Surontanu mati Banteng Tracak
Kencono saboyo urip lan saboyo pati. Mulo Kakangmas Kebokicak kulo mboten saget
pisah serambut kalian ameng-ameng kulo.
Kebokicak
ndangak, langsung nyambung. Adi Surontanu berarti kuwe ora mesakake kawulo ing dempokane Bopo Guru
Sopoyono. Mulo Adimas Surontanu, Banteng Tracak Kencono iku kewan wis jamak
digawe lumprah nek kenek digawe kekah ono dempok Tebuireng kunu lan kanggo
tumbale pedempokane kuwe lan aku. Mulo Adi Surontanu oleh tak jaluk ora oleh
tetep tak suwun Banteng Tracak Kencono.
Surontanu
ngadek sambil nyandak keluane Banteng Tracak Kencono, baru nyambung. Kakangmas Kebokicak ing ngarep aku
wis ngomong sopo wae njaluk banteng ameng-amengku iki ora bakal tak wulungake.
Kebokicak
ngadek samujajar marang adine Surontanu sambil ngomong keras sampek dadekno
geger. Hee, adiku
Surontanu jelas kuwe ora mesak ake sedulurmu seng ono padempokan kono. Mulo
dino iki Banteng Tracak Kencono oleh tak jaluk ora oleh bakal tak rebut. Akhirnya
geger Surontanu lan Kebokicak. Surontanu kasoran yudo Banteng Tracak Kencono
disaut digowo mlayu lan playune Surontanu ngalor nyasak tanduran parine wong
karang perdesan. Perjalanan Kebokicak mbujung lakune Surontanu. Kebokicak
bengok kanti Bende Tengoro ing kunu ngrapal Aji Begandan. Kebokicak ngerti
playune Surontanu. Ehladalah, playune Surontanu ndadak nyasak parine wong
karang perdesan. Ngertenono prajurit Mojopait lan wong karang perdesan kene iki
besok keno diarani Deso Parimono kaseksanan bumi lan langit, suket lan
gegodongan. Kebokicak langsung mbujung lakune Surontanu.
Ganti
perjalanan Surontanu. Ing alas
kunu Surontanu ape gawe delikan. Ben ora dingerteni marang Kakang Kebokicak.
Ing alas kunu ono uwit mojo sing cacahe songo. Surontanu urung sampek klakon
gawe plindungan tiba-tiba Kebokicak dikawal prajurit Mojopait lan Surontanu
siap mentang panah. Busur panah diluncurno arepe manah Kebokicak. Ning nyatane
keno prajurit Mojopait sing cacahe songo nemoni praloyo pati. Terus Surontanu
mlayu ngulon tolek dedelikan kanggo nylametno Banteng Tracak Kencono.
Lari. Sak mlayune Surontanu, Kebokicak
tambah ngamuk, eleng-eleng prajurit seng ngawal Kebokicak cacahe songo mati
keno panahe Surontanu. Kebokicak langsung ngomong marang sesah prajurit sing
ngawal pati, hee, prajurit sing ngawal aku kabeh ngertenono kanggo tetenger
besok rejane jaman papan kene kenek diarani Deso Mojo Songo. Mulo prajurit
saksenono. Sabanjure Kebokicak jenengake deso langsung bujung lakune Surontanu
lan Banteng Tracak Kencono.
Dua
penggalan adegan di atas selanjutnya dalam tilikan sastra tutur maupun sastra
tulis menjadi rangkain plot dan konflik dari cerita geger Kebokicak memburu
Surontanu. Dari versi santri, diceritakan bahwa tersebutlah nama Padepokan
Pancuran Cukir yang kala itu diserang pagebluk. Guru sepuh padepokan itu, Ki
Ageng Sopoyono, dapat wangsit berupa bahwa untuk mengatasi wabah itu
satu-satunya cara adalah dengan menumbalinya dengan hewan berbulu putih. Ki
Ageng Sopoyono memiliki dua murid: Ki Ageng Buwono dan Ki Ageng Pranggang. Ki
Ageng Buwono memiliki anak perempuan bernama Wandan Manguri yang dikawin oleh
Pamulang Jagad. Dari keduanya lahirlah Joko Tulus alias Kebokicak. Sementara Ki
Ageng Pranggang punya putri bernama Niluh Padmi yang bersuamikan Tumenggung
Surono. Dari keduanya lahirlah Joko Sendang atau Surontanu. Dari peristiwa
pagebluk itu, kemudian Surontanu atau Joko Sendang ditugaskan untuk
mengatasinya. Namun ia tidak bisa. Ia hanya dapat seekor banteng yang bisa tata
jalma (dapat berbicara). Banteng ini bernama Banteng Tracak Kencana
yang tubuhnya disusupi dua siluman Lirih Boyo dan Bantang Boyo. Karena
Surontanu tidak mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana, dan ia melarikan diri,
maka Kebokicaklah yang kemudian diperintah untuk merebut rajakaya itu.
Kebokicak mempunyai ajian: Bende Tengoro (Canang Baung), Singo
Begandan (Singa Pelacak),Rompi Lulang Kebo Landung (Rompi
Kekebalan Kulit Kerbau), dan Gedruk Gongseng(Krimpyingan
Penggedruk). Sedangkan Surontanu hanya punya Ajian Kekebalan dan Banteng Tracak
Kencana.
Tukang
Cerita dan Jejak Kampung
Cerita Kebokicak yang lebih masyhur salah satunya adalah saat pengejaran
Kebokicak terhadap Surontanu untuk memperebutkan Banteng Tracak Kencana.
Jejak-jejak pengejaran itu menilaskan nama-nama kampung atau desa yang hingga
kini nyata ada dan menjadi bagian admistratif struktur pemerintahan Kabupaten
Jombang. Riwayat kampung, rangkaian pencerita dari masa ke masa, kadar
orisinalitas, validitas, pun susupan-susupan yang berkelindan, turut serta membentuk
sebuah unggunan naratif yang membuka lebar beragam sumber yang saling mengisi.
Seperti apakah para tukang cerita mengudar si cerita, yang tak lepas dari
tendensi dan subyektifitasnya, menggelar pengisahan Kebokicak dari waktu ke
waktu, hingga dari cucu ke cucu? Yang pasti, tukang cerita bergerak di ambang
yang mistis dan di sisi lain tak lebih imajinatif belaka. Di bawah ini beberapa
nama kampung atau desa yang menjadi arena pengejaran itu:
(1) Parimono:
Surontanu lari bersama Banteng Tracak Kencono. Tibalah ia di sebuah persawahan
nan luas. Kebokicak datang bersama 9 nawabayangkari. Terkejut melihat
Kebokicak, Surontanu mengentakkan tali banteng dan nyasak pepadian yang
menghampar. Kebokicak menggeleng geram menyaksikan itu. Maka lahirlah sebutan
Parimono (padi yang disasak hingga rusak).
(2) Mojosongo:
Surontanu membikin persembunyian dari akar-akaran, ranting-ranting, dan
daun-daun klaras, sementara di sekitarnya dikitari pepohonan maja. Ia membawa
panah. Kebokicak datang bersama 9 nawabhayangkari. Pertarunganpun berkecamuk. 9
prajurit Kebokicak binasa oleh panah Surontanu.
(3) Jambu:
Surontanu terbirit-birit ke arah barat. Mengikat bantengnya di sebuah pohon
jambu milik Ki Dumadi. Belum sempat beristirahat nyenyak, Kebokicak pun datang.
(4) Jombang:
Surontanu lari ke utara. Menemukan kolam. Ada rumah beratap jerami,
alang-alang, lalu ada pemandian kerbau. Ada cahaya ijo dan abang dari dasar
kolam melesat ke langit dan menebarkan cahaya yang terang cemerlang. Keduanya
bertemu dan terjadilah percekcokan. Pertarungan sengit. Surontanu terpukul
mundur. Ia lari ke arah timur. Kolam jadi acak-acakan.
(5) Ringincontong:
Ada pohon beringin raksasa. Seumpama ada 10 orang mengitarinya dengan
membentangkan kedua tangan maka tak bakal mencukupinya. 9 nawabhayangkari
dating membantu Kebokicak. Mereke bertempur lagi. Mereka tak kuasa mengatasi
kanuragan Surontanu. Kebokicak turun tangan. Ia mengeluarkan aji Singo
Begandan, dan Bende Tengoro. Surontanu kewalahan. Ia lari ke tenggara.
(6) Mojongapit:
Ada sekelompok tayub menggelar pertunjukan. Surontanu masuk ke situ. Menyamar.
Lalu muncullah siluman Sardulo Onggo Bliring (berupa macan loreng). Ternyata
siluman ini adalah kawan Kebokicak. Si Bliring mencekik Surontanu. Menjepit
lehernya dengan kayu randu. Surontanu meronta-ronta. Kebokicak muncul. Bliring
terkaget sebentar, dan jepitannya terlepas. Surontanu sedikit dapat bernapas,
lalu ia lari lagi ke tenggara.
(7) Sumber
Peking: Tampaklah rumbukan pring yang rimbun. Terdengar mata air yang
jernih yang menggemericik deras bak bunyi alat peking. Surontanu bermalam di
situ, di sebuah rumah seorang janda bernama Nyi Gulah. Kebokicak datang. Namun
Surontanu telah pergi ke barat kala terbit fajar.
(8) Sumber
Sapon: Di pagi yang mulai terik itu ada seorang janda menyapu halaman
rumahnya, ketika Kebokicak datang dan menanyakan padanya adakah seorang lelaki
berbaju hijau lewat di situ. Si janda mengiyakan. Sardulo Onggo Bliring yang
mengikuti Kebokicak menyarankan untuk terus mengejar. Mereka bergerak lagi dan
singgah di Desa Karang Kejambon. Kebokicak meminta Bliring untuk jalma
menus (menjadi manusia) seperti dirinya. Ini diniatkan Kebokicak untuk
sementara waktu menggantikan posisinya untuk mengatur desanya. Kebokicak
meminta penduduk agar atap rumah mereka dpasangi welit atau daduk tebu.
Bliring sendika dawuh atas perintah itu. Kebokicak bergegas
mengejar Surontanu.
(9) Bantengan:
Sejak mula desa ini memang bernama Bantengan. Surontanu sembunyi di situ. Di
rumahnya sendiri. Tampaknya Niluh Padmi, ibu Surontanu, sedang memberikan
sebungkus nasi pada anaknya itu. Surontanu tak menceritakan apa yang terjadi.
Sehabis makan, ia pamit. Tak lama kemudian, Kebokicak tiba. Perbincangan
singkat. Niluh padmi terperanjat mendengar cerita Kebokicak. Ia menangis dan
meminta pada Kebokicak agar berdamai dengan Surontanu. Kebokicak berjanji akan
bertindak yang terbaik, jika Surontanu mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana.
Lalu Niluh Padmi menunjukkan bahwa Surontanu lari ke barat.
(10) Tamping
Mojo: Ada arak-arakan temanten yang merayakan perkawinan Joko
Tamping dan Siti Wulanjar. Surontanu menyusup ke dalam arak-arakan. Kebokicak
datang memberitahu bahwa di dalam rombongan itu ada perusuh bernama Surontanu.
Joko Tamping tahu lalu melawan Surontanu. Ia dikeplekkan Surantanu sampai
pingsan lalu mati. Siti Wulanjar menjerit-jerit sambil bersimpuh memeluk mayat
Joko Tamping. Kebokicak tertegun dan sekejap ia tak kuasa bertindak.
Cepat-cepat Surontanu kabur ke selatan.
(11) Ngrawan:
Kebokicak tak segera mengejarnya. Ia memulangkan Siti Wulanjar ke rumah orang
tuanya. Lalu daerah si pengantin malang itu diparabi Desa Ngrawan.
(12) Nglungu:
Kebokicak kemalaman, dan plonga-plongo (tolah-toleh), di jalan
dan melihat arah barat dengan mata ngungun. Lamunannya melendot panjang ke
entah.
(13) Petengan:
Kebokicak tampak putus asa, ia duduk lesu di sebongkah bangkai kayu, langit
terasa gelap menyelimuti hatinya. Membayangkan angkasa terasa pahit dan
berkabut tebal di Karang Kejambon.
(14) Glugu: Surantanu lari
ke utara. Ia menemukan glugu yang roboh melintang di kali Konto
(anak sungai Brantas). Kebokicak datang. Surantanu mecetat
(lari cepat) ke timur.
(15) Dukuh
Klopo: Di tempat ini Surantanu membangun benteng dari batang-batang kelapa.
Pancang-pancang yang kokoh. Kebokicak tiba. Ia lari ke timur.
(16) Tengaran:
Ini tempat Surontanu memasang umbul-umbul berwarna-warni. Kebanyakan berwarna
hijau. Ketika Kebokicak menyusul, ia kabur ke arah utara.
(17) Ndero: Surontanu
memasang bendera perang warna merah. Lalu ia lari ke barat saat Kebokicak
datang.
(18) Kandang
Sapi: Banteng Surontanu menyelinap di kandang sapi milik Ki Wongso.
Kebokicak datang. Dialog dengan Ki Wongso. Surontanu lari ke utara.
(19) Kedung
Betik: Surontanu mandi di kedung atau telaga yang
banyak ikan betiknya. Kebokicak datang. Surontanu lari ke barat.
(20) Tenggulukan:
Surontanu sembunyi di Rawa Perning. Surontanu ketemu dengan siluman Celeng
Kecek yang mengusili si banteng Tracak Kencana. Lalu Celeng Kecek dibunuh
Surontanu. Kebokicak datang. Surontanu lari ke utara. Celeng Kecekditengguluk (dipanggul)
Kebokicak, sebab ia dianggap telah membantunya, lalu dikuburkan di dekat kali
Brantas.
(21) Keboan:
Banyak orang mengguyang (memandikan) kerbau. Surontanu dan Kebokicak bertarung
sampai tewas di situ. Dua siluman Bantang Boyo dan Lirih Boyo keluar dari
Banteng Tracak Kencana lalu membenamkan banteng itu di dasar kali Brantas. 9
nawabhayangkari yang barus saja datang hendak membantu Kebokicak langsung
dibinasakan oleh dua siluman itu. Batu gilang, siluman Buntung Boyo.
Ihwal 13 Versi Kebokicak
Dari 13
versi cerita Kebokicak yang disusun mahasiswa STKIP PGRI Jombang di atas, ada
beberapa versi yang patut dicermati, selain beberapa versi lain yang serupa.
Seperti versi Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon) dengan
narasumber Sukono. Versi ini agak ganjil dari versi umum. Saya coba rangkum
point pokoknya:
Sosok Joko
Tulus berasal dari Tulungagung, dekat Gunung Kelud. Ia ingin mengembara demi
menguasai suatu wilayah di utara yakni Jombang. Lalu dilarang ibunya, tapi ia
membangkang, maka ibunya mengutuknya jadi Kebokicak. Kebokicak ini tetap
meneruskan kembara ke Jombang. Di tengah jalan bertemu kakek sakti bernama Ki
Surontanu lantas ia menjadi gurunya. Kebokicak lalu melamar putri Majapahit
(tidak disebutkan nama sang putri) dalam bentuk sayembara. Ia menang, tapi
lamarannya ditampik. Ia balik ke padepokan Bantengan, dan diberi pusaka Kalung
Kuning oleh Ki Surontanu. Kalung ini dapat direbut oleh Putri Majapahit dengan
muslihat halus. Kebokicak tak berdaya, namun tak dibunuh dan pulang ke
Bantengan. Ki Surontanu membawanya ke Kiai Muchtar di Banyuarang untuk disembuhkan.
Ia sembuh, lalu masuk Islam. Karena di Banyuarang terjangkit pagebluk, ia
diutus Kiai Muchtar untuk pinjam pusaka Tracak Kencana kepada Ki Surontanu
sekaligus mengajaknya masuk Islam. Ki surontanu menolak seraya nyumpah-nyumpah.
Terjadilah perang tanding antar keduanya. Ki Surontanu kalah. Pergi bertapa. Ia
nantang Kebokicak lagi dengan membawa keris saktinya dan mampu menebas leher
Kebokicak. Jasad Kebokicak digotongnya dan ditenggelamkannya ke wilayah
berlumpur di Sendang Biru.
Coba kita
simak lagi versi Banteng Tracak Kencana dengan narasumber
Jamadi yang saya sarikan berikut ini:
Disebutkanlah
Raja Wijaya di masa Majapahit mengalami kemunduran di bawah bayang-bayang
serangan Demak. Ia memiliki selir namanya Arum Sari. Mereka punya 3 putra: Jaka
Samar, Jaka Suwana, dan Jaka Suwandi yang tinggal di Desa Karang Jambu. Ketiga
putra ini memperdalam ilmu ke wilayah selatan di perguruan Eyang Sandi atau
Kiai Soponyono di Desa Sumonyono. Waktu belajar silat, Jaka Suwandi hilang dan dicari-cari.
Eyang Sandi mengutus Jaka Samar mencarinya. Sampai ke utara. Menjelang petang
baru ketemu. Jaka Samar marah, lalu menyemprot adiknya itu dengan sebutan Jaran
Kecek. Suatu kali Arum Sari nyambangi mereka. Di pendapa perguruan ia
menyaksikan dua pemuda berlatih tarung. Arum Sari berteriak coba menghentikan
mereka. Namun tak dipedulikan. Ia amat jengkel dan meneriaki kelakuan mereka
seperti kerbau. Seketika salah seorang pemuda yang tampak piawai bertarung itu
kepalanya menjelma menjadi kepala kerbau. Ia tak lain adalah Jaka Samar yang
kemudian berjuluk Kebokicak yang sakti. Eyang Sandi menghadiahi Jaka Suwandi
karena budi pekertinya berupa hewan bersebut Banteng Tracak Kencana. Suatu hari
Kebokicak ingin meminang Pandan Sari. Tapi dengan syarat harus menyerahkan
Banteng Tracak Kencana. Kebokicak menyanggupi. Namun Surontanu menolak
menyerahkannya. Ia lari. Dikejar Kebokicak. Mereka bertarung. Surontanu lari
lagi. Tarung lagi. Surantanu keteter, lari ke rawa-rawa bertebu di barat Desa
Sumonyono. Dalam pengejaran Kebokicak itu, jajaran lebat tebu itu seketika
menjadi hitam warnanya sebab pengaruh Ilmu Panglimunan Kebokicak. Jadilah kelak
daerah itu diparabi Tebu Ireng. Surontanu terus lari ke barat, istirahat di
mata air yang berwarna biru yang kemudian tempat itu bersebut Balung Biru. Lalu
ia terus berlari dan bersembunyi di jajaran rimbun pohon nangka. Daerah itu
kelak berjuluk Sumber Nangka. Kebokicak dapat mengejarnya. Tanding lagi.
Surontanu lari ke daerah utara yang dipenuhi daun talas. Bau si banteng dapat
dikenali Kebokicak di balik rimbunan daun talas dan tempat ini kemudian
bersebut Desa Bantengan. Mereka tarung lagi. Surontanu berhasil membelah jadi
dua tubuh Kebokicak. Dengan ilmu Pancasunya, Kebokicak bangkit dari kematian
dan mengubah dirinya menjadi macam putih. Ia mengejar Surantanu kembali ke
utara di daerah Karang Jambu. Mengubah dirinya lagi menjadi manusia bersebut
Sargula. Mengejar lagi. Bertemu. Tarung lagi. Si pengejar kembali lagi ke ujud
asalnya: Kebokicak. Pertarungan makin dahsyat dan menghebat hingga memercikkan
cecahaya hijau dan merah sampai membelah langit malam yang kian menggelap.
Daerah itu karena bertabur berpercikan cahaya ijo dan abang yang menakjubkan
maka di kemudian waktu diparabi menjadi Jombang. Si Banteng Tracak Kencana
tewas terkena panah Kebokicak. Surantanu kalap. Kebokicak juga kalap. Mereka
bertarung kian menggila. Sampai sama-sama tak berdaya. Hingga sama-sama mati
keduanya.
Dalam versi cerita Telatah Surantanu, bernarasumber Purwito, yang
menyebut dirinya sebagai keturunan ke-4 dari Surantanu, tampaknya perlu
dipertanyakan. Surantanu yang mana? Adakah kaitannya dengan asal-usul Jombang,
yang sebagian besar dari 13 versi cerita menyebut itu walau dengan fragmen,
plot, dan tokoh-tokoh, tempat kejadian, munculnya sisipan tokoh lain, nama
samaran, yang perlu dicermati kembali sebab ada yang sama juga ada yang
berbeda? Pada versi itu Surontanu dimunculkan di masa Majapahit yang mengalami
penjajahan Belanda. Ini jelas ahistoris. Lalu cerita bergeliat hingga muncul
sosok warok Suromenggolo dari Ponorogo. Lalu pada versi cerita Desa
Randu Watang, diceritakan bahwa Jaka Tulus alias Kebokicak memiliki bapak
seorang panglima bernama Siro Manggu. Akhir cerita menyebutkan soal pertarungan
kebokicak melawan Surontanu yang juga menilaskan jejak persabungan mereka
misalnya meninggalkan nama kampung Gedangan dan sungai Gelugu, lalu muncul
Walang Kecik yang memusuhi Kebokicak, juga lahir Desa Ngemprak, perkelahian
terus berlanjut ke timur lalu beralih ke utara, sampai dua orang ini sama-sama
mati di tengah-tengah pertempuran. Tubuh mereka disaksikan orang-orang yang
lewat di situ. Di antara warga ini menggoyang-goyangkan jasad mereka dengan
sebatang watang (dari ranting pohon randu) untuk membuktikan
apakah mereka telah mati. Maka lahirlah Desa Randu Watang atas kejadian itu.
Bagaimanakah
pembaca yang, setidaknya, pernah akrab dengan cerita Kebokicak versi santri
yang saya cuplikkan di awal menilai 2 versi lain dari narasumber Sukono dan
Jamadi? Ada kembangan cerita lain di sana, bergerak sendiri, bersemayam jauh di
kedalamannya, saling susup-menyusupi, yang tentunya menyimpan “dunia sunyi”
masing-masing dalam ingatan kolektif sosialnya. Satu anggapan, yang sebenarnya
sah-sah saja namun terkesan gegabah, kala mengaitkan cerita Kebokicak dengan
lahirnya daerah Jombang. Tradisi lisan dan mitos tentang sosok ini begitu
dominan, walau tidak semua warga Jombang tahu. Karena itu tetap membutuhkan
kajian historis spesifik secara akademis, bukan sekadar beranjak dari legenda
untuk menautkan dan selanjutnya menemukan titik-terang kesejarahan sebuah
wilayah.
---
Fahrudin
Nasrulloh, cerpenis dan pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber : lembahpring.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar