Banyak wisata Religi di daerah Jombang,
dimana kota ini telah lama terkenal dengan julukan kota santri, setidaknya ada
Lima pondok pesantren besar di Jombang yang terkenal seperti Ponpes Tebuireng
di Cukir Diwek, Ponpes Darul Ulum di Rejoso Peterongan, Ponpes Bahrul Ulum di
Tambakberas, Ponpes Mambaul Maarif di Denanyar dan Ponpes Luhur Nurhasab di
Gadingmangu Perak.
Kelenteng Hong San Kion di
Gudo, juga sering dikunjungi wisatawan sebagai wisata religi di Jombang, Selain
dikenal sebagai tempat ibadah Tridarma (Agama Taoisme, Budha, dan Konghucu)
juga sebagai tempat berobat. Menariknya yang datang untuk berobat juga banyak
yang dari kalangan pribumi. Setiap menjelang Tahun Baru Imlek, kelenteng ini
mengadakan acara hajatan yang cukup meriah, seperti Wayang Potehi maupun
Pagelaran Barongsay.
Begitu Juga Gereja Mojowarno
merupakan gereja tertua di kawasan, serta dulunya pernah menjadi pusat salah
satu aliran Kristen Protestan pada zaman Belanda. Setiap setahun sekali, gereja
ini mengadakan upacara kebetan dan unduh-unduh, yang sarat akan
kultur lokal.
Kali ini kita bergeser ke arah timur jombang
kecamatan Mojoagung, disitu terdapat wisata religi yang tidak pernah sepi
pengunjung. tepatnya di perbatasan desa mancilan-Betek Mojoangung terdapat
makam mbah Sayid Sulaiman yang sering dikunjungi para peziarah. Dan rasanya
kurang pas kalau berziarah tanpa tau sejarah mbah Sayid, berikut adalah
biografi Mbah Sayid Sulaiman.
Biografi
Sayid Sulaiman Betek Mojoagung Jombang
Sekitar pertengahan abad
ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau
Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di
negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi
ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang
disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang
dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam,
ada pula yang berniaga seraya berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia
adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban
adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama
terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti. Sayid Abu Bakar
mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik
julukannya itu.
Suatu ketika, Sayid Abu
Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak
muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia
tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia
seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra
sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada
abad 16 Masehi di Tarim, Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut
yang masyhur sebagai gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke
Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal
di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana
Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan
Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang
putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro
Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim. Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam
berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh
dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di
Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan
mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak
dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini,
kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau
menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu
Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayid
Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan.
Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur
itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan
kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton. Saat itu di istana sedang
berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil
menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta
agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta tolong buatkan
pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan oleh orang-orang
sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.
Mendengar permintaan Raja
yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja,
sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur.
Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid
belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu
di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi,
kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan yang bermacam-macam. Raja
Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid
Sulaiman. Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari
Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara.
Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama
“Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar
sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama
berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan
Mataram. Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke
kebun binatang Satwataru.
Nyantri
di Ampel
Setelah meninggalkan Solo,
Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya,
beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya,
adalah untuk nyantri kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kabar keberadaan
Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke
Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik
kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu
kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak
kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang
kakak.
Pada suatu malam, saat
murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan
sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna
kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri
tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat
melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini.
Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu.
Usai salat Subuh, Sunan
Ampel bertanya kepada para santrinya, “Siapa yang sarungnya tadi malam
terikat?” Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu,
Sunan Ampel berkata, “Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan
manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri
untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
Riwayat belajarnya Sayid
Sulaiman kepada Sunan Ampel ini sebenarnya masih sangat disangsikan. Soalnya,
terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan
Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid
Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun)
dengan Sunan Ampel. Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman belajar di Ampel ini
tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau.
Kemungkinan juga cerita di atas terjadi ketika mereka nyantri kepada Habib
Sholeh (Mbah Semendi).
Keramat
di Pasuruan
Setelah nyantri di Ampel,
kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di
Segoropuro. (Belakangan diketahui ternyata Mbah Sholeh adalah paman mereka
sendiri, saudaranya ibu mereka, Syarifah Khodijah). Setibanya di Pasuruan,
setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di
sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi
bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi.
Kejadian ini terulang sampai dua kali. Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah
Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka
berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak/sandal kayu
zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa
menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan
segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak
bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab
tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim, “Eh, eh, jangan
begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh. Setelah kejadian itu, Mbah
Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar
biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada
suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada
semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau
berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid
Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid
Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang
dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid
Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti
semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan
lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayid
Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah mondok di Mbah
Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat
julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung
Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai
pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton
Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali
melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang
berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh
sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja. Diadakanlah
sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat
besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang
Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan
putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan
kepada Sayid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja,
Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian,
beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan
izin Allah, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton.
Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib. Melihat putrinya kembali, hati Raja
berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman
menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun
Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.
Tak lama kemudian, Sayid
Sulaiman diambil menantu oleh gurunya yang notabene pamannya sendiri, Mbah
Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya beliau menerima
permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan
adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama,
kakaknya istri Mbah Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan,
sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif
Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua, wafat
di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel. Selain beristri
putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari
istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.
Kembali ke
Cirebon
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat,
tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan
ibu tercinta.
Tapi pada saat itu, suasana
di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara
Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi
berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa
aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung
sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda. Melihat hal
ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali
menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning. Di Gambir Kuning
beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk,
belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di
hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan
Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah
40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu
tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di
lokasi pembangunan.
Konon, yang mengangkat kayu
itu adalah Sayid Sulaiman sendiri. Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada.
Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh
Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin
Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu. Masjid
dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun.
Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli,
kecuali lantai dan tiang bagian dalam. Pergi ke Keraton Mataram Kabar kekeramatan
Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja
Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di
Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk
memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini. Bersama
tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin
Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo.
Di Keraton, Raja Mataram
mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran
yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada
tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika
mereka sedang makan bersama-sama. Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya
itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Nak, kalian lupa tidak memakan sayur
kacang ini. Ayo dimakan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman. “Oh,
iya Mbah,” jawab mereka serempak. Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya
makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak. “Kalau muridnya saja
seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan
selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk
mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan
pada Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu
kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di
Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.
Wafatnya Sayid Sulaiman Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan
penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayid Sulaiman pamit kepada istrinya
yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan
perjalanannya ke Jombang.
Namun di tengah perjalanan,
tepatnya di kampung Betek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian
wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.
Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang
suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk
mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang.
Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung
meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru. Istri Mbah Sulaiman ini
tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa
Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal
dunia sesampainya di desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika
pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke
Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek,
Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah
Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam
rawatan Mbah Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya
dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan.
Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya,
permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah. Beliau tidak sampai bertemu dengan
Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung. Adipati yang disuruh menjemput Mbah
Sayid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke
Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayid. Sang
adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di
sana pula.
Turunkan
Pewaris Perjuangannya
Hasil jerih payah Mbah Sayid
dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum
muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan
bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini
kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau
berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan
pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama
pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri
Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbin Surabaya,
sampai Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan. Dari istri pertamanya
di Krapyak Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu
Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran,Sepanjang,
Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab,
banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan.
Sedangkan keturunan beliau
dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal
sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula
Hasan. Sayid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok
pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda. Melalui jalur
Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur.
Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini,
makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang
penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil
menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi
di tengah pelayaran Sayid Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo.
Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda.
Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke
Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke
Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke
Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim, Hadramaut, kampung
para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.
Sayid Ali Akbar meninggalkan
enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman.
Mereka adalah: 1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan) 2. Sayid
Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan) 3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah
Tugu Pahlawan Surabaya) 4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya) 5.
Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan 6. Sayid Ali Ashghar
(makamnya di Sidoresmo). (belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab
keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman,
bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar). Dari Sayid Abdullah, terlahir
pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman yang memangku pesantren seperti
Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan
santri. Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya
telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini
terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid
Sulaiman. Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak
Yosowilangon, Surabaya.
Sedangkan dari istrinya yang
kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di
antaranya kiai Ahmad, Lebak, Winongan, Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di
Malang, beliau mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam
adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.
Pembabat Sidogiri Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari
Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak
sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba,
tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu
masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas
para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke
Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan
sempurna.
Setelah wafatnya Sayid
Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam
mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai
Aminullah. Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri.
Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok
Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712. Tahun 1712 adalah tahun paling
dekat dengan masa hidup Sayid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan sebelumnya,
beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan
Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu meninggal. Sedang beliau hidup pada masa Untung
Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa
hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri
268 tahun pada tahun ini (2013) adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah
ini. Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut
satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum
binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap
di Sidogiri. Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri
berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti
Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung
Sayid Sulaiman. Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang
senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istiqamah mengisi
jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai
empat tahun.
Mantab jiwa menggelora dah
BalasHapus